Kraton Yogyakarta
dibangun tahun 1756 Masehi atau tahun Jawa 1682 oleh Pangeran Mangkubumi
Sukowati yang kemudian bergelar Sri Sultan Hamengku Buwono I. Setelah melalui
perjuangan panjang antara 1747-1755 yang berakhir dengan Perjanjian Gianti.
Karaton, Keraton atau Kraton,
berasal dari kata ka-ratu-an, yang berarti tempat tinggal
ratu/raja. Sedang arti lebih luas, diuraikan secara sederhana, bahwa seluruh
struktur dan bangunan wilayah Kraton mengandung arti berkaitan dengan pandangan
hidup Jawa yang essensial, yakni Sangkan Paraning Dumadi (dari
mana asalnya manusia dan kemana akhirnya manusia setelah mati).
Garis besarnya,
wilayah Kraton memanjang 5 km ke arah selatan hingga Krapyak dan 2 km ke utara
berakhir di Tugu. Pada garis ini terdapat garis linier dualisme terbalik,
sehingga bisa dibaca secara simbolik filosofis. Dari arah selatan ke utara,
sebagai lahirnya manusia dari tempat tinggi ke alam fana, dan sebaliknya
sebagai proses kembalinya manusia ke sisi Dumadi (Tuhan dalam
pandangan Jawa). Sedangkan Kraton sebagai jasmani dengan raja sebagai lambang
jiwa sejati yang hadir ke dalam badan jasmani.
Kraton menuju Tugu
juga diartikan sebagai jalan hidup yang penuh godaan. Pasar Beringharjo
melambangkan godaan wanita. Sedangkan godaan akan kekuasaan dilambangkan lewat
Gedung Kepatihan. Keduanya terletak di sebelah kanan. Jalan lurus itu sendiri
sebagai lambing manusia yang dekat dengan Pencipta (Sankan Paraning Dumadi).
Secara sederhana, Tugu
perlambangan Lingga (laki-laki) dan Krapyak sebagaiYoni (perempuan).
Dan Kraton sebagai jasmani yang berasal dari keduanya.
Sebelum menempati
Kraton Yogyakarta yang ada saat ini, Sri Sultan Hamengku Buwono I atau Sri
Sultan Hemengku Buwono Senopati Ingalogo Ngabdulrahman Sayidin Panotogomo
Kalifatullah tinggal di Ambar Ketawang Gamping, Sleman. Lima kilometer
di sebelah barat Kraton Yogyakarta.
Dari Ambar
Ketawang Ngarso Dalem menentukan ibukota Kerajaan Mataram di
Desa Pacetokan. Sebuah wilayah yang diapit dua sungai yaitu sungai Winongo dan
Code. Lokasi ini berada dalam satu garis imajiner Laut Selatan, Krapyak,
Kraton, dan Gunung Merapi.
Bangunan Kraton
Yogyakarta sedikitnya terdiri tujuh bangsal. Masing-masing bangsal dibatasi
dengan regol atau pintu masuk. Keenam regol adalah Regol Brojonolo, Sri
Manganti, Danapratopo, Kemagangan, Gadungmlati, dan Kemandungan.
Kraton diapit dua
alun-alun yaitu Alun-alun Utara dan Alun-alun Selatan. Masing-masing alun-alun
berukurang kurang lebih 100×100 meter. Sedangkan secara keseluruhan Kraton
Yogyakarta berdiri di atas tanah 1,5 km persegi.
Bangunan inti kraton
dibentengi dengan tembok ganda setinggi 3,5 meter berbentuk bujur sangkar
(1.000 x 1.000 meter). Sehingga untuk memasukinya harus melewati pintu gerbang
yang disebut plengkung. Ada lima pintu gerbang yaitu Plengkung Tarunasura atau
Plengkung Wijilan di sebelah Timur Laut kraton. Plengkung Jogosuro atau
Plengkung Ngasem di sebelah Barat Daya. Plengkung Joyoboyo atau Plengkung
Tamansari di sebelah Barat. Plengkung Nirboyo atau Plengkung Gading di sebelah
Selatan. Plengkung Tambakboyo atau Plengkung Gondomanan di sebelah Timur.
Dalam benteng,
khususnya yang berada di sebelah selatan dilengkapi jalan kecil yang berfungsi
untuk mobilisasi prajurit dan persenjataan. Keempat sudut benteng dibuat
bastion yang dilengkapi dengan lubang kecil yang berfungsi untuk mengintai
musuh.
Penjaga benteng
diserahkan pada prajurit kraton di antaranya, Prajurit Jogokaryo, Prajurit
Mantrijero, dan Prajurit Bugis. Prajurit Jogokaryo mempunyai bendera Papasan
dan tinggal di Kampung Jogokaryan. Prajurit Mantrijero dilengkapi dengan
Bendera Kesatuan Purnomosidi dan tinggal di Kampung Mantrijeron. Prajurit Bugis
yang berbendera Kesatuan Wulandari tinggal di Kampung Bugisan.
Makna
Tata Ruang Kraton Yogyakarta
Setelah diguncang
gempa tahun 1867, Kraton mengalami kerusakan berat. Pada masa HB VII tahun
1889, bangunan tersebut dipugar. Meski tata letaknya masih dipertahankan, namun
bentuk bangunan diubah seperti yang terlihat sekarang
Tugu dan Bangsal
Manguntur Tangkil atau Bangsal Kencana (tempat singgasana raja), terletak dalam
garis lurus, ini mengandung arti, ketika Sultan duduk di singgasananya dan
memandang ke arah Tugu, maka beliau akan selalu mengingat rakyatnya (manunggaling
kawula gusti).
Tatanan Kraton sama
seperti Kraton Dinasti Mataram pada umumnya. Bangsal Kencana yang menjadi
tempat raja memerintah, menyatu dengan Bangsal Prabayeksa sebagai tempat
menyimpan senjata-senjata pusaka Kraton (di ruangan ini terdapat lampu minyak
Kyai Wiji, yang selalu dijaga abdi dalem agar tidak padam), berfungsi sebagai
pusat. Bangsal tersebut dilingkupi oleh pelataran Kedhaton, sehingga untuk
mencapai pusat, harus melewati halaman yang berlapis-lapis menyerupai rangkaian
bewa (ombak) di atas lautan.
Tatanan spasial Kraton
ini sangat mirip dengan konstelasi gunung dan dataran Jambu Dwipa, yang
dipandang sebagai benua pusatnya jagad raya.
Dari utara ke selatan
area Kraton berturut-turut terdapat Alun-Alun Utara, Siti Hinggil Utara,
Kemandhungan Utara, Srimanganti, Kedhaton, Kemagangan, Kemandhungan Selatan,
Siti Hinggil Selatan dan Alun-Alun Selatan (pelataran yang terlindung dinding
tinggi).
Sedangkan pintu yang
harus dilalui untuk sampai ke masing-masing tempat berjumlah sembilan,
disebut Regol. Dari utara terdapat gerbang, pangurukan, tarub
agung, brajanala, srimanganti, kemagangan, gadhung mlati, kemandhungan dan
gading.
Brongtodiningrat
memandang penting bilangan ini, sebagai bilangan tertinggi yang menggambarkan
kesempurnaan. Hal ini terkait dengan sembilan lubang dalam diri manusia yang
lazim disebut babahan hawa sanga.
Kesakralan setiap
bangunan Kraton, diindikasikan dari frekuensi serta intensitas kegiatan Sultan
pada tempat tersebut.
Alun-Alun, Pagelaran,
dan Siti Hinggil, pada tempat ini Sultan hanya hadir tiga kali dalam setahun,
yakni pada saat Pisowan Ageng Grebeg Maulud, Sawal dan Besar. Serta kesempatan
yang sangat insidental yang sangat khusus misal pada saat penobatan Sultan dan
Penobatan Putra Mahkota atau Pangeran Adipati Anom.
Kraton Yogyakarta
memanglah bangunan tua, pernah rusak dan dipugar. Dilihat sekilas seperti
bangunan Kraton umumnya. Tetapi bila kita mendalami Kraton Yogyakarta, yang
merupakan contoh terbesar dan terindah dengan makna simbolis, sebuah filosofi
kehidupan, hakikat seorang manusia, bagaimana alam bekerja dan manusia
menjalani hidupnya dan berbagai perlambangan eksistensi kehidupan terpendam di
dalamnya.
Raja-raja
Yogyakarta yang Pernah Berdiam di Kraton
Masa pemerintahan
Kraton Yogyakarta Sri Sultan Hamengku Buwono I (GRM Sujono) memerintah tahun
1755-1792. Sri Sultan Hamengku Buwono II (GRM Sundoro) memerintah tahun
1792-1812. Sri Sultan Hamengku Buwono III (GRM Surojo) memimpin tahun
1812-1814.
Sri Sultan Hamengku
Buwono IV (GRM Ibnu Djarot) memerintah tahun 1814-1823. Sri Sultan Hamengku
Buwono V (GRM Gathot Menol) memerintah tahun 1823-1855. Sri Sultan Hamengku
Buwono VI (GRM Mustojo) memerintah tahun 1855-1877. Sri Sultan Hamengku Buwono
VII (GRM Murtedjo) memerintah tahun 1877-1921.
Sri Sultan Hamengku
Buwono VIII (GRM Sudjadi) memerintah tahun 1921-1939. Sri Sultan Hamengku Buwono
IX (GRM Dorojatun) memimpin tahun 1940-1988. Sri Sultan Hamengku Buwono X (GRM
Hardjuno Darpito) memimpin tahun 1989 – sekarang.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar